Headlines News :
Home » » Amsakar Si Burung Merak Dari Batam

Amsakar Si Burung Merak Dari Batam

Written By Unknown on Senin, 02 November 2015 | 23.28.00

Amsakar Achmad
Apa jadinya jika calon pemimpin seorang sastrawan? Dunia pasti lebih indah, damai dan bersahabat. Puisi bisa menjadi senjata tanpa peluru yang mendamaikan peperangan. Menjadikan benci berubah menjadi cinta.

Nah, itu yang terjadi pada pertemuan ratusan masyarakat Tanjung Uma dengan Amsakar Ahmad. Disana, aku melihat ratusan orang tampak melongo. Semua mata terfokus pada sosok pria kurus berkacamata yang sedang menyampaikan puisi karyanya sendiri.

Pria itu sedang beraksi membaca puisi tanpa kertas. Sesekali Ia menarik tubuhnya kebelakang lalu memiringkannya. Lalu tangan kanannya menepuk dadanya sambil berseru lantang menantang musuh. 
Ia serasa sedang bertarung dengan bayangan tokoh hitam yang akan menghitamkan negerinya. Ia serasa sedang meninju wajah bengis penakluk yang coba menaklukkan negerinya dengan senjata kecongkakan.

Aku sepertinya di hisap oleh suara puisi berat miliknya. Petikan gitarku tertelan oleh suara raungan dan lengkingan kemarahannya atas nasib anak negerinya. Suara gitarku yang mengiringi puisinya tergopoh gopoh mengejar deru gelegar pertanyaan amarah tentang mengapa negeriku kini tercerabut dari akar keberanian dan perjuangan marwah?

Amsakar Achmad, penyair, dosen, birokrat dan kini mencalonkan diri sebagai wakil walikota yang mendampingi Calon Walikota Rudi membuatku disana tak dapat berkata apa. Amsakar Achmad membacakan dua buah puisi.

Aku terpukau dengan pilihan setiap kata syair puisinya. Aku tergetar oleh ekspresinya yang gelora. Aku tersentuh oleh roh batinnya yang marah atas tercabiknya akal sehat. Bagaimana mungkin kami yang lahir di tanah milik kami harus pergi dari tempat kami lahir?

Amsakar berteriak lantang menantang angin agar puyuh tidak meluluh lantakkan rumah anak negeri yang hendak di cabut penyangganya. 
Saat itu aku mengiringi puisi berderap derap itu dengan sebuah gitar. Puisi itu mencubit kesadaran butaku tentang apa itu kepemilikan, tentang apa itu warisan leluhur.

Aku mengiringi puisi berbaris panjang yang menarasikan getir dan getar seorang Amsakar. Getir karena menjadi terasing di negerinya sendiri. Getar karena pekik perjuangan akan kebebasan, persaudaraan dan kesetaraan.

"Kini negeriku tempat aku lahir menjadi seperti Palestina di jalur Gaza. Kita menjadi terasing di negeri kita sendiri" pekik Amsakar.

Lantang suara Amsakar di temani dawai denting gitarku membuat batinku tak kuasa menolak engkaulah Putra Negeri pencerah anak negeri. Engkaulah penyuara kebebasan, kesetiaan, kehormatan dan keteguhan akan nilai nilai kebaikan leluhur Melayu. Leluhur yang mematri mantra ajaib di setiap pemuda negeri "Sekali Layar Terkembang Surut Kita Berpantang"

Pada akhirnya aku sadar seperti kata Robert Penn Warren "Puisi adalah sebuah mitos kecil tentang kemampuan manusia untuk membuat hidupnya lebih bermakna. Pada akhirnya, puisi bukan sesuatu yang kita lihat. Lebih tepatnya, puisi adalah cahaya yang membuat kita melihat sesuatu lebih jelas, dan sesuatu itu adalah hidup". Amsakar membuat sesuatu itu lebih jelas, dan sesuatu itu adalah hidupnya untuk kehidupan negeri.

Birgaldo Sinaga
Ketua Bara JP Kepri
Share this post :
 
Support : Creating Website | Tim ramah | Amsakar Achmad Blog
Copyright © 2011. Amsakar Achmad - All Rights Reserved
Template Created by Modiv Website Published by Tim Ramah
Proudly powered by Blogger